Bagian I. Tulisan Anton Sanjoyo (wartawan Kompas)
KOMPAS, 19 Juli 2012
Lewat situs jejaring sosial, legenda
tenis Indonesia, Yayuk Basuki, menuliskan pesan pendeknya di kotak pribadi.
”Lapangan tenis di Pati Unus itu kan jalur hijau, masa mau dibuat apartemen dan
mal. Nah,tennis academy-ku ini kan di sini dan ada 150 anak lebih. Kasihan
mereka. Aku enggak tahu mau mindahin ke mana”.
Yayuk, pahlawan tenis Indonesia yang
sangat sering mengharumkan nama bangsanya di arena internasional, barangkali
mewakili ribuan pembina olahraga lainnya yang juga gundah. Seiring dengan
berjalannya waktu, pembangunan bukannya semakin berpihak pada olahraga,
melainkan justru mengucilkan bidang yang seharusnya menjadi pilar ini. Dalam
banyak hal, seperti yang dikeluhkan Yayuk, pembangunan hanya berpihak kepada si
pemodal kuat, pada sektor ekonomi dan komersial yang semua keuntungan, dan
manfaat dihitung ketat, rupiah demi rupiah.
Sementara bidang olahraga, bagi
kebanyakan pemilik modal, bukanlah bidang yang seksi, lahan yang gampang
dikeduk manfaatnya sen demi sen. Ketimbang membangun sarana olahraga—dengan
konsep komersial dan bisnis sekalipun—lebih baik menegakkan apartemen mewah
atau mendirikan mal yang gemerlap, yang balik modalnya jelas meskipun di
Jakarta dua jenis properti ini sudah kelebihan pasokan.
Dilihat secara fisik, pembangunan nasional
memang menganaktirikan bidang olahraga. Tengoklah kota-kota besar Indonesia,
mal, pusat perbelanjaan, dan perkantoran tumbuh dengan asas deret ukur,
sementara sarana olahraga boro-boro seperti deret hitung. Dalam beberapa hal,
malahan lahan olahraga semakin berkurang seperti yang (bakal) dialami lapangan
tenis Pati Unus tempat Yayuk menggembleng bibit-bibit muda tenis kita.
Di kota-kota besar, sarana berolahraga
semakin sempit, terdesak oleh pembangunan sarana komersial. Dalam banyak kasus
pembangunan permukiman, pemerintah daerah seperti tak punya kekuasaan sama
sekali untuk menekan para investor dan pengembang yang mengalihkan begitu saja
fasilitas umum dan fasilitas sosial menjadi properti komersial.
Dalam banyak kasus pula, ketika
fasilitas umum dan fasilitas sosial diserahkan oleh pengembang kepada pemda,
pihak pemda jugalah yang kemudian semena-mena mengubahnya menjadi area
komersial, bahkan tak jarang menabrak rencana umum tata ruang dan rencana umum
tata wilayah yang mereka buat sendiri.
Dihitung mundur, Indonesia tak pernah
punya politik olahraga yang jelas dalam strategi pembangunan manusia. Sejak
zaman Orde Lama, pembangunan nasional hanya menekankan pada sisi ekonomi dan
politik praktis. Selintas, dalam dua puluh tahun terakhir, misalnya, hal ini
tecermin dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di mana alokasi
anggaran rutin dan pembangunan bidang olahraga hanya berkutat di kisaran 0,01
persen hingga 0,05 persen dari total APBN (periode 1990-2010).
Dalam bidang olahraga prestasi, untuk
maju, paling tidak masuk kelompok elite Asia, Indonesia sangat butuh politik
olahraga yang tegas. Rasanya tidak perlu sampai harus meniru China yang
menjadikan pilar pembangunan, tetapi harus ada peta jalan (road map) yang jelas
mengenai arah pembangunan olahraga Indonesia untuk menuju bangsa yang lebih
kuat dan tangguh.
Meski tak harus meniru, China layak
dijadikan penanda aras (benchmark) pembangunan olahraga. Sebagai negara dengan
ideologi komunis, China membutuhkan propaganda manjur agar sistem masyarakat
tetap berjalan mendukung pemerintahan. Olahraga adalah propaganda yang sangat
efektif karena langsung menusuk ke jantung kalbu nasionalisme.
Dalam dua dekade terakhir, China
habis-habisan mengejar prestasi olahraga dunia, khususnya di arena agung
olimpiade. Usaha keras China membuahkan hasil saat mereka menggelar Olimpiade
Musim Panas 2008 di Beijing dengan menjadi pengumpul keping emas terbanyak,
mengungguli Amerika Serikat dan Rusia serta negara-negara Eropa barat lainnya.
Dominasi olahraga kemudian diikuti oleh kemakmuran ekonomi yang membuat China
saat ini menjadi kekuatan ekonomi dunia, setara dengan negara-negara maju Eropa
dan AS.
Mengerahkan semua kemampuan itulah
barangkali kata kunci yang bisa kita teladani dari China. Sebab, seperti halnya
pembangunan apa pun, kesuksesan hanya bisa diraih jika semua pemangku
kepentingan bekerja dengan mengerahkan seluruh kemampuan, tak bisa
setengah-setengah, apalagi tanpa panduan peta jalan.
Harus disadari, membangun olahraga
tidak mungkin langsung ke tingkat prestasi olimpiade. Jenjangnya dimulai dari
pemassalan, olahraga rekreasi, sampai ke tingkat prestasi. Pada tahap
pemassalan saja harus tersedia prasarana layak, seperti lapangan terbuka atau
taman. Semakin tinggi tingkatnya, semakin ketat persyaratan prasarananya.
Pada level prestasi, prasarana sudah
harus setara dengan standar internasional, semisal kolam renang ukuran
olimpiade atau lintasan lari berstandar internasional. Semasa masih di level
pemassalan atau rekreasi, bisa dibilang prasarana bolehlah seadanya asalkan
layak. Namun, pada level prestasi, lapangan yang tersedia haruslah berstandar
olimpiade seperti yang kita lihat bertebaran di kota-kota besar di China. Untuk
sampai taraf ini, Indonesia membutuhkan politik olahraga yang kuat, yang
disokong terutama oleh pemerintah dan pemodal kalangan industri.
Tanpa keberpihakan kalangan-kalangan
ini, pembangunan olahraga Indonesia tak akan beranjak ke mana pun. Dan, Yayuk
Basuki hanya bisa mengungkapkan kegundahannya lewat Facebook. ●
Komentar
Posting Komentar