NASIB OLAHRAGA PRESTASI DI KEBUMEN:
DUKUNGAN MINI TUNTUTAN MAKSI
Olahraga adalah satu cara dan media membangun karakter
manusia yang berkepribadian. Jika olahraga dicampuri kepentingan lain,
khususnya politik sektarian, maka segala upaya untuk mengerahkan usaha dan daya
membangun karakter itu tentu akan tercemari oleh berbagai muatan yang ada dalam
politik itu. Ini berbeda sangat signifikan dengan politik olahraga. Yakni
pendekatan politik yang dilakukan oleh institusi politik formal, terutama
pemerintah, untuk memacu pengembangan kegiatan dan prestasi olahraga.
Kabupaten Kebumen memiliki potensi atlet yang selalu
menyumbang medali emas di cabang olahraga judo dan gulat. Terakhir, silat
menyumbang atlet nasional atas nama Dian Kristanto. Begitu juga dengan cabang
tinju yang selalu melahirkan bibit-bibit baru dari tangan dingin pelatih Yos
dan dukungan finansial dari pemilik toko jajanan khas “Saputra”, Hari S. Di era
akhir 1990 an atau awal 2000-an, Pertina Kebumen pernah melambungkan nama :
Jamhur bersaudara yaitu Willy dan Happy. Nasib keduanya lebih baik ketika
pindah ke kota hujan Bogor. Demikian pula dengan Samsudi dan kawan-kawan dari
cabang judo yang usaha serta dedikasi dalam memelihara kehidupan cabang
olahraga dari negeri Sakura tak diragukan lagi. Seperti cabang tinju, banyak
atlet cabang olahraga prestasi dari Kebumen yang merasa lebih “berharga”
membela daerah lain. Mengapa ?
Jika pertanyaan itu ditujukan kepada pengurus cabang
olahraga prestasi, jawabannya hanya satu : tak ada keberpihakan (politik
olahraga) yang jelas dari institusi berkompeten. Alias, Pemerintah Kabupaten
(termasuk DPRD) tak punya komitmen jelas, apalagi tegas tentang arah atau
strategi pembangunan olahraga. Satu
bukti kuat ialah terus membiarkan dana pembinaan olahraga yang
dialokasikan ke KONI (KOK – Komite Olahraga Kabupaten) ada di Bagian Kesra Sekretariat
Daerah. Dengan pembiaran kondisi ini, Pemkab punya alasan kuat untuk berkelit
tanggung jawab memajukan keolahragaan di Kebumen. Karena, jika dimaksimalkan
akan menimbulkan polemik politik dan Pemkab (Bupati) dipastikan tak mau
mengambil risiko ini. Sementara itu, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga yang sebenarnya memiliki kompetensi paling
tinggi sebagai SKPD yang menyelenggarakan
olahraga nampaknya memang sengaja tidak dipotensikan sesuai kapasitas dengan
alasan yang juga tak ternah jelas. Dengan kata lain, Kabupaten Kebumen tidak
memiliki atau tidak pernah memikirkan politik keolah-ragaan yang memacu
pengembangan prestasi (cabang olahraga dan atletnya).
Kepala Disdikpora Kab. Kebumen, Dra. Retno Palupi memaparkan tentang
adanya sekolah olahraga di Kab. Kebumen didampingi
Ketua Harian KONI Kab. Kebumen H. Karnaen.
Bukti lain, ada realita yang sangat unik ketika stadion
sepakbola Candradimuka, satu-satunya di Kabupaten Kebumen, diubah
menjadi pasar darurat. Selain mengubah fungsi sarana olahraga yang digunakan
oleh banyak warga masyarakat sekitar kota Kebumen untuk berolahraga, rekreasi
dan menjadikannya sebagai ruang publik,
stadion yang berada di bekas tanah bengkok Desa Kebumen ini nampaknya
memang menyajikan bukti yang sangat telanjang tentang ketiadaan politik
keolahragaan di Kabupaten Kebumen. Untuk mengejar angka Rp 48 miliar yang
dialokasikan bagi dana revitalisasi pasar-pasar tradisional (secara kebetulan saya ikut menyaksikan penyerahan
secara simbolik dana bantuan Pemerintah Pusat yang diserahkan oleh Menteri
Koperasi dan UKM kepada wakil Pemkab Kebumen, Azlam Fathoni di Gedung Smesco
Jakarta, 29 Oktober 2010). Sebenarnya
(dan sejujurnya) masih banyak bukti lain yang menguatkan argumentasi, bahwa
Pemkab Kebumen tak punya politik keolahragaan.
Stadion dan Lapangan Atletik Candradimuka
Informasi yang saya peroleh dari wakil Bappeda saat Bimbingan Teknis Pembinaan KONI antara KONI (KOK) Kebumen dengan semua unsur terkait (Pemkab, DPRD, Dinas Dikpora dan KONI) dengan Pengurus Kabupaten semua cabang olahraga yang dikordinasikan oleh KONI terungkap bahwa alokasi dana APBD 2013 untuk rehabilitasi Stadion Candradimuka Kebumen pasca digunakan sebagai pasar darurat sekitar Rp 7 milyar. Bandingkan dengan dana pembinaan olahraga yang hanya sekitar Rp 50 juta dari Rp 475 juta yang dialokasikan untuk urusan mengikuti PORPROV Jateng 2013. Dari jumlah sekitar Rp 425 juta, sekitar Rp 250 juta untuk tali asih bagi atlet peraih medali (emas = Rp 20 juta; perak = Rp 10 juta dan perunggu = Rp 5 juta). Sisa sekitar Rp 175 juta adalah alokasi untuk kegiatan selama mengikuti pekan olahraga se propinsi tsb.
Ketidakpedulian Pemkab dan DPRD Kebumen atas “nasib
dunia olahraga prestasi” semakin nyata dengan pemberlakuan aturan: “ setiap penerima bantuan sosial harus
memiliki NPWP dan tarip pajak yang dikenakan atas hal tsb adalah 21,5%. Artinya, Pengurus Kabupaten cabang-cabang
olahraga harus berfikir ulang untuk menerima dana bansos yang nilainya sangat
kecil tetapi mengandung risiko yang sangat besar. Hal ini tidak saja memangkas
langkah pembinaan, tetapi juga sangat berkesan mematikan cabang-cabang olahraga
prestasi. Seperti diungkapkan oleh, Sdr. Sarengat selaku Ketua Pengcab FORKI
(Karate) ketika mendapat penjelasan dari wakil sekretaris dan pengurus harian
KONI Kabupaten Kebumen, Bp. Subadio, dalam penjelasan hasil rapat kordinasi
KONI dan Bagian Kesra Setda Kab. Kebumen di ruang KONI GOR Gembira Senin pagi
(11 Februari 2013). Bahwa tuntutan berprestasi yang dicerminkan dengan
adanya tali asih ternyata hanya akal-akalan Pemkab Kebumen untuk
mematahkan semangat para atlet membawa harum nama daerah dan tanah
kelahirannya.
Kenyataan yang lebih pahit dialami oleh cabang
olahraga bridge. Di satu sisi, atlet-atlet minibridge yang dihasilkan dari
POPDA SD/MI dibiarkan berhenti tumbuh kembang prestasinya karena ketiadaan
ajang di tingkat SMP/SMA. Kedua, Disdikpora sering merasa lebih berwenang
“membawa” kemanapun siswa/i yang menjadi juara di ajang POPDA Kabupaten ke
tingkat Provinsi dibanding KONI dan Pengurus Kabupaten cabang olahraga otak
ini. Realitas ini berlaku di semua
cabang olahraga. Sehingga menumbuh-kembangkan kesan bahwa Dikpora-pun hanya
bersedia memetik hasil pembinaan dari klub dan atau Pengcab. Di manakah peran
bidang/ seksi olahraga dalam hal ini ?
Stadion "Pasar Tumenggungan" Candradimuka
Tanpa mengurangi rasa hormat atas upaya Pemkab (Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga) Kebumen menyelenggarakan sekolah berbasis keolahragaan di SMPN 2 Karanganyar di tingkat SMP sederajat dan SMAN 2 Kebumen di tingkat SMA sederajat, kesan yang saya tangkap selaku atlet maupun pengurus cabang bridge yaitu (tetap) sebatas proyek. Bukan sebuah program yang berlanjut, apalagi bagian dari renstra (rencana strategis) sebagai perwujudan politik keolahragaan. Kesimpulan ini saya dapatkan dari hasil diskusi dengan para pengurus cabang olahraga lain di berbagai kesempatan. Perhatian, keberpihakan dan apresiasi terhadap cabang-cabang olahraga prestasi tetap sangat minimal. Mungkin kurang menarik untuk promosi politik kekuasaaan atau bisa jadi karena memang belum (tidak) ada politisi dan birokrat yang mau mengangkat nama Kabupaten Kebumen dari bidang olahraga, khususnya olahraga prestasi. Sungguh satu realitas yang sangat bertolak belakang dengan situasi di masa kepemimpinan Bupati Soepeno Judoprajitno di akhir dasawarsa 1970-an. Apakah karena beda masa, beda juga seleranya ? Atau sebab lain yang sebenarnya sangat gamblang, tapi dibuat rumit seperti pepatah latah ”kalau bisa dibuat sulit, kenapa harus dimudahkan” ? Wallahu ‘alam bissawwab.
Smesco Building, 29 Oktober 2010 - 1
Smesco Building, 29 Oktober 2010 - 2
Smesco Building, 29 Oktober 2010 - 3
Komentar
Posting Komentar