Bagian Satu
Perhelatan akbar Asian Games 2018 di Indonesia telah berakhir dengan upacara penutupan yang tak kalah megah dari pembukaan. Bendera dan atributnya telah diserahterimakan kepada pihak penyelenggara di tahun 2022, walikota Hongzhou RR China. Apresiasi telah diberikan kepada para atlet, pelatih dan asistennya sebagai figur sentral serta semua pihak yang telah menyukseskan acara penuh cerita ini. Ada pertunjukan cahaya yang fantastis, banyak drama di tengah arena pertandingan dan perlombaan serta munculnya beberapa pesohor baru. Banyak hal istimewa yang dapat dipetik di dalamnya, termasuk eforia dan penyikapan yang berbeda atas hal sama. Pertanyaan besar yang selalu muncul setelah beragam sukses diraih yaitu mampukah kesuksesan itu dipertahankan dan ditingkatkan untuk meraih prestasi puncak?
Sebagaimana disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo dalam menyambut dan menyerahkan bonus bagi para juara, bahwa sukses yang diraih para atlet adalah proses panjang, bertahun-tahun. Bukan sesuatu yang tiba-tiba datangnya (instan). Perjuangan atlet, pelatih dan ofisial bukan hanya soal teknis dan taktik berlaga. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab utama kesuksesan itu. Baik yang mendukung, khususnya yang menolak atau menghalangi. Di tengah cibiran, cemoohan, hasutan dan beragam ekspresi penentangan. Para pejuang olahraga itu terus berlatih mengasah kemampuan teknis dan taktik dengan tetap menjaga roh sportivitas yang jadi pijakan utama berlaga di arena olahraga. Semua pihak yang mampu memelihara roh sportivitas akan bertahan lama dan semakin menguat. Begitu juga dengan sebaliknya.
Sebagian pegiat harus bertindak sebagai manusia super (atlet, pengurus, pelatih dan pendana) meski harus menanggung risiko yang acapkali tidak kalah supernya. Terutama di daerah-daerah yang tergolong “miskin”. Sebagian besar risiko itu ditanggung pribadi, sebagian lainnya oleh orang-orang yang peduli. Tidak terlalu berharap kepada bantuan pemerintah daerah karena banyak alasan yang seringkali tidak masuk akal. Melibatkan masyarakat memang ideal, tapi bukan hal yang mudah. Selain mempertimbangkan faktor sosial dan budaya, kencenderungan menyukai instan dan pola transaksional adalah realitas kehidupan yang sulit diikuti.
Membangun prestasi adalah membangun budaya kompetisi yang sehat dan terarah. Selain tujuan harus jelas, bukan salin dan tempel (copy – paste), budaya kompetisi harus dihadirkan dan dipelihara secara ajeg dalam suatu lingkungan masyarakat. Ketika cara berpikir instan dan transaksional yang mengemuka, budaya kompetisi sehat sulit dihadirkan. Apalagi dipelihara dengan baik. Prestasi olahraga dicapai oleh para pihak yang bersikap pejuang dan dilandasi pemahaman yang baik tentang suasana kompetitif. Pejuang olahraga adalah sukarelawan (volunteer) bukan avonturir (petualang) .
Di balik sukses prestasi dalam penyelenggaraan Asian Games 2018, ada tantangan yang cukup besar bagi proses pembinaan atlet yakni keberadaan Satlak Prima yang hampir menihilkan peran utama induk organisasi cabang-cabang olahraga. Meskipun akhirnya dibubarkan karena alasan tidak efektif, keberadaan Satlak ini sangat mengganggu konsentrasi dan usaha pembinaan. Sebagian pegiat olahraga menyebutnya sebagai petualang yang tersesat dan ada juga yang memberi predikat broker olahraga. Hal-hal semacam ini semestinya tak berulang di saat kita mempertahankan “lompatan prestasi” yang dicapai dalam Asian Games 2018 seperti yang diucapkan Presiden Jokowi. Bahkan beliau menegaskan sikap ketidak-sukaan atas sikap yang tidak mendukung upaya para pegiat olahraga prestasi yang akan berlaga di ajang terbesar di benua Asia itu.
Komentar
Posting Komentar